Aku baru tahu ada seminar ini H-2 sebelum acara seminarnya, itu pun karena diajak teman satu studio. Untukku memang tidak wajib karena yang diwajibkan ikut hanya yang mengambil mata kuliah Arsitektur Perumahan (yang sudah aku ambil semester lalu) dan Studio Proyek Arsitektur B (aku mengambil Proyek Arsitektur A semester ini).
Photo © UPH |
Karena acara seminar berlokasi di Jakarta maka tim dari UPH berangkat pukul 7 pagi dan baru sampai ke tempat seminar pukul 8.45 pagi pas banget 15 menit sebelum seminar dimulai. Tapi akhirnya seminarnya juga ngaret baru jam 9.20 dimulai. Yah biasalah kan budaya Indonesia..zzz..
Seminar ini diadakan oleh UPH - School of Design bekerja sama dengan jurusan Arsitektur UI, jurusan Planologi ITB, dan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia). Tujuannya adalah memberikan inspirasi dan insepsi bagaimana kota bisa berubah menjadi layak huni dengan mengutamakan warga kota agar bisa aman dan bahagia hidup di kota.
Ada 4 pembicara di seminar tersebut. Aku akan menjelaskan siapa mereka dan kesimpulan dari materi yang mereka jelaskan versiku. Jadi kalau ada dari kalian yang mengikuti seminar dan memiliki penangkapan berbeda dari materi yang dibawakan bisa juga menambahkan di kolom komentar yaa~
Sesi pertama ada 2 pembicara yaitu Ms Ame Engelhart dari Skidmore, Owings, & Merril LLP Associate (SOM) (linkedin : Ame M. Engelhart) & Mr. Michael King dari Nelson \ Nygaard Consulting Associates (linkedin : Michael King ) .
Photo © linkedin Ame M. Engelhart |
Pembicara pertama yaitu Ms. Ame Engelhart adalah seorang arsitek dan urban planner. Beliau bekerja di SOM cabang kota Hong Kong selama hampir 20 tahun, dan pengalaman kerja secara keseluruhan dalam desain arsitektur, perencanaan kota, dan manajemen proyek sudah lebih dari 29 tahun.
Materi yang dibawakannya dalam seminar adalah tentang LIVABILITY.
Kesimpulan yang aku ambil dari hasil materi yang beliau bawakan adalah bagaimana kita menilai sebuah kota sebagai sebuah entitas kehidupan.
Ada sistem kehidupan di kota yang dapat menjadi pertimbangan utama untuk merancang kota yang lebih layak untuk kehidupan warganya. Untuk merancang sistem urbanisme berkelanjutan, menurut beliau yang harus menjadi dasar utama dalam perancangan adalah mempertimbangkan ekologi daerah setempat ditambah arsitektur yang telah ada dan membangun infrastruktur. Dari ketiga hal tersebut barulah mempertimbangkan pada bidang ekonomi untuk berkembang. Lalu kemudian ke bidang budaya.
Ekologi pada daerah setempat menjadi penting karena manusia butuh akses pada alam (untuk kebutuhan hidup dan relaksasi). Banyak orang Indonesia khususnya Jakarta yang mengira bahwa orang Indonesia malas jalan, tapi jika diberi fasilitas pedestrian yang baik maka akan membuat banyak penduduk lebih memilih untuk berjalan kaki. Lalu juga akses kepada alam perlu ada di dalam kota karena manusia butuh melihat hal-hal yang natural dan bisa diakses dalam 10 menit berjalan kaki. Taman pada kota juga dapat menaikan harga lahan di sekitarnya dan ini sangat bagus untuk bidang ekonomi.
Central Park, New York, USA Photo © Pinterest |
Kemudian pembangunan bangunan di dalam kota dan infrastuktur. Bangunan yang dibangun di dalam kota selayaknya dibangun tidak harus sama karena akan dirasa monoton tidak terlalu enak dilihat. Kepadatan pada kota bisa dimanfaatkan dengan menimbulkan banyak bangunan yang beragam. Dengan melihat suatu kota adalah sistem kehidupan maka pertimbangan ini akan membantu untuk mentransformasi kota menjadi tempat hunian yang baik bagi warganya.
Photo © Nelson Nygaard |
Selanjutnya, pembicara kedua yaitu Mr. Michael King adalah "a designer of streets" desainer yang mendesain jalan penghubung pada kota. Beliau bekerja pada bironya tersebut di kota New York, USA. Sudah 20 tahun lebih berkarir untuk merancang jalan dan penghubung pada kota-kota seperti di New York, New Orleans, Buenos Aires, Bangkok, dll.
Materi yang dibawakan adalah BETTER STREETS, BETTER CITIES.
Kesimpulan yang aku ambil dari materi yang dibawakan oleh beliau adalah mengenai perancangan jalan yang baik di dalam kota sehingga penduduk dalam kota lebih senang untuk berjalan kaki dan lebih produktif sehingga mereka bisa lebih bahagia hidup di dalam kota.
Contoh kota yang dibahas dalam materi adalah yang memiliki sistem TOD (Transit-Oriented Development), di mana kota dirancang untuk berkembang sesuai dengan radius adanya infrastruktur transportasi. Jadi penduduk bisa mengakses transportasi dengan 10 menit berjalan kaki (sekitar 800 m) dan/atau 20 menit bersepeda (sekitar 5 km).
Cara yang paling utama adalah dengan TIDAK MENGUTAMAKAN KEPENTINGAN KENDARAAN PRIBADI untuk pembangunan infratstruktur.
Jadi menurut beliau, dengan membuat jalan-jalan dengan lebar yang besar malah akan membuat penduduk lebih ingin menggunakan kendaraan pribadi. Dan juga dengan membangun area parkir juga membuat penduduk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Contohnya cerita dari beliau bahwa di New York, keluarga beliau memiliki kendaraan pribadi namun hanya digunakan paling banyak 2 kali seminggu karena ketika membawa kendaraan pribadi yang beliau pikirkan adalah di mana akan parkir. Karena kalau parkir sembarangan maka dendanya cukup besar. Jadi lebih baik membuat jalan yang kecil dan nyaman untuk pedestrian menyebrang jalan.
Transformasi area perempatan jalan di Mexico City, Mexico, dari yang berfokus untuk kendaraan menjadi fokus untuk pedestrian Photo © Pinterest |
Fokus utama adalah untuk membuat fasilitas pedestrian yang baik pada jalan.
Di mana beliau memberikan contoh percobaan pada jalan di beberapa kota dengan memberikan bollard sementara warna jingga itu untuk membuat area pedestrian lebih lebar di jalan. Banyak pedestrian yang menilai bahwa hal tersebut membuat mereka lebih nyaman untuk berjalan kaki sehingga mereka akan melewati jalan tersebut lagi dengan berjalan kaki.
Area pedestrian yang nyaman untuk 2 orang lewat adalah minimal lebar sekitar 1,5 m dan jika lebar menjadi 1,8 m itu akan lebih nyaman lagi. Kemudian dengan membuat rem untuk membuat nyaman pedestrian ketika ada perbedaan ketinggian.
Serta dalam perancangan kota butuh desain ruang yang baik untuk menentukan tempat penyebrangan pada perempatan karena banyak area ruang jalan yang tidak terpakai dapat dimanfaatkan untuk pedestrian.
Perancangan jalan penghubung pada kota yang mengutamakan pedestrian dibanding kendaraan pribadi akan membuat kota menjadi lebih baik, karena penduduk kota akan lebih memilih untuk berjalan kaki. Mereka pun akan semakin sehat, produktif, dan terhindar dari stress karena macet sehingga mereka menjadi bahagia karena kota mereka juga bersih dari polusi kendaraan.
Setelah 2 pembicara mengungkapkan materi mereka ada respon juga dari 2 orang ahli dari Indonesia, yang salah satunya adalah Bu Himasari, dosen ITB yang pernah ngajar mata kuliah Arsitektur Modern dulu. Seperti biasa dalam seminar pasti ada diskusi dan tanya jawab. Dan akhirnya mulai juga waktu istirahat makan siang.
Makan siang gratis siapa yang ga suka ? hahaha
Makanannya enak pulaaaa duhh pantes sih UPH eksklusif banget kalau ngadain acara ya :p
Setelah hampir sejam istirahat maka jam 1 siang mulai kembali sesi kedua dengan pembicara Mrs. Helle Søholt dari Gehl Architects dan Pak Alwi Sjaaf dari School Of Design UPH.
Photo © Gehl Architects |
Pembicara ketiga yaitu Mrs. Helle Søholt adalah arsitek, urban designer, dan CEO dari biro arsitekturnya. Beliau bekerja di bironya di Copenhagen, Denmark, yang sudah berdiri dari tahun 2000.
Materi yang dibawakan adalah tentang LIFE BETWEEN BUILDINGS.
Kesimpulan dari materi yang dibawakan beliau adalah dalam perencanaan dan perancangan kota dan arsitektur kita harus berfokus pada kehidupan di dalamnya yaitu penduduknya.
Pendekatan dalam perancangan kota dan arsitektur adalah mengenai kehidupan (Life) lalu berkembang pada ruang yang dibutuhkan (Space) kemudian pada bangunan yang akan dibangun (Buildings). Menurutnya tujuan dari sebuah kota bukan menjadi kota terbaik yang dapat menjadi kebanggaan (Best City) tapi tujuan dari sebuah kota adalah untuk berbagi nilai kehidupan terbaik bagi penduduknya (Shared Value).
Dengan merancang kota untuk penduduknya, maka yang pertama kali dibutuhkan adalah dengan mengetahui penduduknya !
Perilaku (BEHAVIOUR) dan Kebutuhan (NEEDS) dari penduduk yang menjadi pertimbangan paling utama dalam perancangan.
Aktivitas global yang paling disukai oleh manusia adalah melihat manusia lainnya (People Watching). Maka dari itu penduduk butuh ruang publik pada kota yang dapat memfasilitasi aktivitas global ini. Kesannya lucu tapi emang bener sih. Dalam merancang ruang dalam kota juga kita harus memperhatikan social bubble. Jadi ada jarak antar interaksi manusia dan manusia lainnya.
Area pedestrian di kota Vienna, Austria yang menjadi tempat penduduk berkegiatan, jalan-jalan, atau sekedar nongkrong karena manusia adalah makhluk sosial yang senang berinteraksi. Photo © Pinterest |
Untuk membuat ruang kota yang nyaman bagi penduduk maka harus mempertimbangkan untuk mengumpulkan, mengintegrasi, mengundang, dan membuka diri agar penduduk bisa berkegiatan dengan nyaman dan membuat kota menjadi lebih hidup. Contohnya pada desain fasad di mana bangunan memiliki desain fasad yang terbuka langsung ke area jalan dengan beragam desain dapat mengundang orang untuk datang berkegiatan di tempat tersebut sehingga kota menjadi lebih membahagiakan. Hal ini juga dipengaruhi oleh pandangan manusia di mana pandangan manusia secara umum melihat fasad lantai satu bangunan dan lantai bangunan tempat mereka berjalan melewatinya.
Menjadikan perilaku dan kebutuhan penduduk untuk pertimbangan perancangan kota akan membuat kota menjadi layak huni dan membahagiakan untuk penduduk.
Photo © Lippo Karawaci |
Selanjutnya pembicara terakhir yaitu Pak Alwi Sjaaf. Beliau adalah Senior Advisor untuk School Of Design UPH, arsitek dan desainer interior.
Dalam materi yang dibawakannya, Beliau ingin memberikan insepsi kepada peserta seminar untuk bermimpi dan mewujudkan kota yang baik dan layak huni bagi penduduk Indonesia.
Macet (yang sudah pasti bikin stress) di Jalan MH Thamrin, Jakarta pas depan gedung BPPT tempat seminar kemarin. Photo © Pinterest |
Masalah kota yang diangkat tentunya dari Ibu Kota Jakarta. Dengan banyaknya masalah kota Jakarta adalah contoh buruk memang tapi dengan rasa keinginan kuat untuk merubahnya menjadi lebih baik dari para praktisi arsitek, akademis, urban planner, developer, pemerintah, dll yang bisa mengusahakan untuk mewujudkan kota menjadi lebih baik semoga dalam beberapa puluh tahun ke depan kita akan melihat kota-kota di Indonesia bisa layak huni dan memberikan kehidupan yang baik bagi penduduknya.
Setelah kedua pembicara ini selesai mengungkapkan materi mereka maka ada diskusi dan respon juga dari 2 ahli dalam negeri. Salah satu ahli yang merespon adalah Pak Baskoro Tedjo (dosen ITB juga) yang dengan kocaknya memberikan respon dengan cerita yang pernah beliau bawakan di mata kuliah Perilaku Lingkungan dulu. Tentang respon yang terjadi karena stimulus, dan jenis respon yang terprediksi dan tidak diprediksi. Juga cerita tentang fungsi Taman Lansia, Bandung yang membuat semua peserta seminar tertawa. Pak Baskoro ini emang kocak banget sih. =))
Penilaianku dari seminar ini adalah seminarnya sangat menarik ! (dan catering makan siangnya enak hahaha~)
Melihat beberapa kasus dan proyek dari luar negeri, memberikan pengetahuan padaku bahwa kota-kota di luar negeri sana yang kita lihat sudah sangat baik saat ini juga melewati proses yang sama dari kondisi kurang layak menjadi layak huni dan membahagiakan penduduknya.
Memberikan harapan juga pada kota-kota di Indonesia untuk sama seperti itu.
Sayangnya saat ini para ahli dalam urban planning dan arsitektur, pemerintah, dan developer masih berjalan sendiri-sendiri. Semuanya masih mengutamakan kepentingan masing-masing.
Taman film di bawah jalan layang Pasupati, Bandung yang dulunya cuma tempat kumuh ga kepake sekarang sudah jadi ruang terbuka publik yang bisa dimanfaatkan untuk nobar film atau pertandingan sepak bola. Photo © Pinterest |
Yang memberikan titik cerah adalah kota Bandung (yay..kota kelahiranku~).
Mungkin karena walikota Bandung saat ini, Pak Ridwan Kamil adalah arsitek dan urban planner sehingga bisa memberikan perubahan signifikan untuk fokus kepada penduduknya agar dapat membuat kota menjadi layak huni, memberikan keamanan dan kebahagiaan bagi penduduk, serta menaikan taraf hidup warganya.
Semoga hal tersebut juga dapat terjadi pada kota-kota di Indonesia lainnya. Sehingga taraf kehidupan warga Indonesia juga naik dan penduduk Indonesia bisa lebih bahagia dan bangga menjadi warga kota di Indonesia.
Semoga menginspirasi~